Kenangan saya terbang ke almarhum Kakek dan sepedanya. Sepeda hitam besar yang presnelingnya berbunyi ‘cik-cik-cik’, yang hanya dimiliki Kakek sebagai petinggi desa, yang tidak sembarang orang boleh memegang apalagi mengendarainya, yang berwibawa dan begitu keramatnya sampai-sampai Kakek menyimpannya di senthong dekat keris dan jimat-jimat, yang diam-diam saya suka menyelinap ke sana lalu dolanan sepeda ‘cik-cik-cik’ itu sepuasnya.Suatu ketika, sepeda kesayangan Kakek itu hilang dicuri maling. Betapa terpukulnya Kakek. Beliau mengurung diri di rumah, duduk diam di kursinya. Murung berhari-hari. Mendung duka menyelimuti desa. Saya juga ikut sedih, meskipun tidak tahu itu karena kakek berduka atau karena saya jadi kehilangan mainan. Sekian lama kemudian Kakek meninggal karena usia tua, tanpa pernah melihat lagi sepeda kesayangannya. Berbilang tahun berlalu, dan tiba-tiba di sore itu, di sudut kota Leiden, saya seperti menemukan sepeda Kakek kembali. Melihat keterharuan di sebuah negeri Belanda, dimana hampir seluruh penduduknya bersepeda onthel (Mr. Faried – Leiden, Holland)“Suatu hari, saya ditawari dua buah sepeda onthel. Satu bermerek Fongers, dan satu lagi Teha. Karena saya hanya perlu satu sepeda, saya bermaksud membeli sepeda Fongersnya saja, sementara satunya lagi saya tawarkan kepada seorang tetangga yang juga ingin membeli sepeda. Setelah tahu harganya, tetangga saya meminta tolong membawakan sekalian sepeda Teha tersebut untuknya. Artinya, tetangga tadi membeli sepeda tanpa melihatnya terlebih dahulu selain hanya mengandalkan kepercayaan atas cerita saya. Ketika saya tampak ragu dengan keputusannya itu, tetangga saya pun memberikan alasan singkat yang memantapkan hati saya. Katanya, semasa SD dulu setiap pagi ia berebut dengan teman-temannya untuk memarkir sepeda gurunya. Sepeda itu bermerek Teha.Saat itulah kami semua sadar, betapa sepeda-sepeda tua berbeda dengan lainnya. Bentuknya yang sederhana, besar, hitam, tidak modis. Penampilan sepeda-sepeda yang ala kadarnya ini begitu saja memunculkan rasa iba, terenyuh, tapi lama-lama memunculkan semacam kedekatan yang indah, bahkan menenteramkan. Memandang sepeda-sepeda ini, yang muncul bukan pikiran logis, analitis seperti saat menghadapi sepeda modern, melainkan semacam keharuan dan keterpanggilan untuk menyentuhnya. Beberapa sepeda tua ini benar-benar memaksa kami berjongkok dan mengelusnya agak lama. Ah, sepeda-sepeda ini hidup!Jika diperhatikan, posisi sadel, stang, dan kayuhan sepeda tua sudah didesain untuk kecepatan tertentu, kecepatan amat terbatas yang justu diyakini sebagai kecepatan ideal bagi pengendaranya untuk “merekam” kehidupan sepanjang perjalanan yang dilaluinya. Sepeda tua adalah kendaraan yang dipakai saat manusia dahulu masih bisa menghayati irama kehidupan. Kecepatannya yang tidak secepat sepeda motor itu masih memungkinkan bagi pengendaranya untuk saling bertegur sapa, misalnya saat berpapasan atau saat melintasinya. Oleh karena itu, dahulu bel sepeda yang dipakai biasanya adalah bel yang frekuensinya lebar: cukup keras terdengar, tetapi ramah, tidak menyakitkan telinga. Berbeda dengan bel produk saat ini yang nyaring melengking menusuk telinga. Dahulu bel dipakai orang untuk menyapa dan meminta perhatian. Sekarang, bel atau klakson cenderung sebagai ungkapan kemarahan dan kekesalan.Dengan keterbatasan kecepatannya itu, sepeda tua tidak sampai membuat orang memaksa diri (Jawa: nyengko). Orang cuma harus menjaga tegangan antara: cukup santai untuk membuat nyaman, dan cukup cepat untuk bisa mengantar ke tempat yang diinginkan. Orang tidak perlu mengorbankan salah satu dari keduanya.Sepeda tua juga senantiasa mengingatkan generasi dahulu akan keseimbangan arti tanjakan dan turunan, antara berkah dan cobaan, antara saat santai dan saat bekerja lebih keras. Kesadaran ini mengajari orang bersyukur di saat diberi kemudahan, dan bersabar di masa-masa sulit. Pada tanjakan terjal kadang orang harus turun dari sepeda, giliran pengendara yang harus mendorong sepedanya. Keakraban hubungan manusia dengan sepedanya sebagai sarana yang memudahkan pencapaian tujuannya akan menumbuhkan kepekaan terhadap semua yang dimiliki, yang pada saatnya juga mengasah kepekaan terhadap sesama.Sepeda tua telah memberikan energi positif bagi pengendaranya, tanpa disadari energi itu mengajak pengendara ontel untuk bisa belajar bersabar di setiap lambatnya kayuhan demi kayuhan, belajar untuk menikmati dan memahami bagaimana nostalgia dari sebuah sepeda ontel, Kenyamanannya tidak tertandingi, tercipta dengan hasil riset panjang penemu sepeda terdahulu, dengan stang yang tidak lurus dan posisi duduk tidak membungkuk, membuat suasana nyaman dalam berkendara. Di sisi lain, energi positif dari sepeda tua secara langsung telah membuat suasana hati tenang, penuh kesederhanaan, penuh semangat, bersahaja, jauh dari kesombongan dan arogansi, apa yang mau disombongkan ketika naik sepeda tua? Bahkan tidak terasa, percaya diri, senyuman dan sapaan hangat akan selalu bersambut ketika mengendarai sepeda tua.Mengapa bersepeda tua, adalah sebuah pertanyaan sederhana yang telah menuai beragam jawaban. Walau dapat menimbulkan diskusi panjang dengan sudut pandang yang berlapis, seringkali reaksi langsung yang diterimanya adalah gelengan kepala. Bagi segelintir orang yang (mencoba) secara konsisten memilih sepeda sebagai alat transportasi utama - juga terkait dengan hobi, segala isu lingkungan dan kesehatan, maupun solidarisme kelompok - ia bukan lagi sebentuk besi beroda yang menyenangkan melainkan telah bertransformasi sebagai alternatif yang mampu menjadi jawaban yang sederhana bagi beberapa masalah sepele yang terakumulasi, bagai sebuah bola salju yang menggelinding jatuh: polusi, masalah energi, kemacetan. Mengendarai sepeda pun menjadi sebuah sikap politik dari individu yang merasa paling apolitis sekalipun.Inilah Sepeda Tua... yang didalamnya punya Energi... Energi yang bisa dinikmati pengendaranya untuk bisa lebih bersabar dalam setiap kayuhan.. untuk bisa lebih percaya diri akan kebanggan... untuk bisa menghargai, menikmati dan merasakan... sebuah arti kesederhanaan dan persahabatan“ Hidup... Layaknya bersepeda.. kita harus seimbang dan bertahan agar tidak jatuh..”“Sang Velocipede, Sang Sepeda, Sang Kereta Angin.. Empat orang eropa sedang berpegang-pegangan bahu dalam banjar melintas di jalanan. Ini yang dinamai kereta angin. Kencang, cepat seperti angin, lari secepat kuda, tidak perlu rumput, tidak perlu kandang, lebih nyaman daripada kuda, kendaraan ini tidak pernah kentut, tidak butuh minum, tidak buang kotoran “ (Anak Semua Bangsa – Pramoedya Ananta Toer)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar