Ketika musim hujan tiba dan
sungai menjadi berbahaya untuk diseberangi maka mereka hanya bisa termangu
menatap sekolah dari kejauhan di seberang sungai.
Tempat ini bernama Tanjung Harapan, di tepi aliran Sungai Rupit, pedalaman Rimba Rupit, Sumatera Selatan. Sampai ke sini perlu waktu satu jam dengan perahu motor. Di pemukiman berdiri SD Tanjung Harapan, bangunannya berdinding papan dan cuma punya satu ruang kelas. Ini adalah sekolah bagi anak-anak Suku Anak Dalam, atau yang dikenal dengan Suku Kubu.
Di antara ilalang yang tumbuh hampir setinggi orang dewasa tampak seorang perempuan muda berkulit cokelat, ia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Ia adalah Leorince, guru SD yang sudah mengajar lima tahun di sini ketika kami datang. Ia mengajar di sini karena memang tidak ada guru lain yang mau. Rince, sapaan akrab ibu guru, membawa kami ke rumah dinasnya, rumah kecil sederhana berdinding papan dgn lantai semen bercampur tanah. Ia bilang kalau malam harus hati-hati karena ular dan binatang lain suka masuk ke dalam rumah.
Sore itu di beranda rumahnya sambil duduk minum teh dan memandang tarian ilalang, Rince mulai berkisah ikhwal kedatangannya di Tanjung Harapan. Saat itu Pebruari 1998, lulusan Diploma Pendidikan Guru SD PESAT ini tiba di sini, ia mendapati sekelompok besar keluarga-keluarga Kubu yang tinggal di dalam rumah-rumah sangat sederhana. Kondisi mereka sangat tidak baik, “Mereka tidak peduli dengan kesehatan tubuh, kuku tangan dan rambut mereka sangar kotor, begitu pula pakaiannya, dan jangan tanya soal baca tulis,” cerita Leorince. Bahkan waktu itu hukum rimba masih berlaku di sini, tak jarang aku menjumpai perilaku buruk mereka, lanjutnya.
Tahun pertama di Suku Kubu adalah masa yang sulit. Tidak mudah untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan orang tua maupun anak-anak mereka, kisahnya. Namun kerja keras dan pertolongan Tuhan akhirnya membuahkan hasil ketika satu demi satu anak datang ke dalam kelas.
Waktu berlalu dan perlahan-lahan mereka mulai paham banyak hal tentang ilmu pengetahuan, membaca, menulis, berhitung, cara hidup yang sehat, dll. Mereka sangat rajin datang ke sekolah, berjalan beriringan dan bangga dengan seragam sekolah yang dipakai, aku pun selalu terharu melihatnya, ucap Rince.
Meskipun demikian, lanjutnya, masalah nampaknya masih tetap ada, dan hal ini menyangkut masalah perut. Ruang kelas akan segera menjadi kosong tanpa seorang murid pun yang tinggal saat musim buah tiba. Mereka segera pergi untuk memanen buah-buahan hutan, dan itu bisa berminggu-minggu lamanya. “Tapi mereka akan kembali lagi ke sekolah saat musim panen usai,” kisah Leorince.
Namun waktu jualah yang menjawab semuanya, beberapa anak akhirnya berhasil menamatkan pendidikan SD mereka. “Mereka yang tamat diberikan surat rekomendasi untuk dapat melanjutkan ke SMP,” katanya. Sayangnya, hanya beberapa anak saja yang lanjut sekolah karena SMPnya berada di kota dan sangat jauh dari hutan tempat mereka tinggal.
Tempat ini bernama Tanjung Harapan, di tepi aliran Sungai Rupit, pedalaman Rimba Rupit, Sumatera Selatan. Sampai ke sini perlu waktu satu jam dengan perahu motor. Di pemukiman berdiri SD Tanjung Harapan, bangunannya berdinding papan dan cuma punya satu ruang kelas. Ini adalah sekolah bagi anak-anak Suku Anak Dalam, atau yang dikenal dengan Suku Kubu.
Di antara ilalang yang tumbuh hampir setinggi orang dewasa tampak seorang perempuan muda berkulit cokelat, ia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Ia adalah Leorince, guru SD yang sudah mengajar lima tahun di sini ketika kami datang. Ia mengajar di sini karena memang tidak ada guru lain yang mau. Rince, sapaan akrab ibu guru, membawa kami ke rumah dinasnya, rumah kecil sederhana berdinding papan dgn lantai semen bercampur tanah. Ia bilang kalau malam harus hati-hati karena ular dan binatang lain suka masuk ke dalam rumah.
Sore itu di beranda rumahnya sambil duduk minum teh dan memandang tarian ilalang, Rince mulai berkisah ikhwal kedatangannya di Tanjung Harapan. Saat itu Pebruari 1998, lulusan Diploma Pendidikan Guru SD PESAT ini tiba di sini, ia mendapati sekelompok besar keluarga-keluarga Kubu yang tinggal di dalam rumah-rumah sangat sederhana. Kondisi mereka sangat tidak baik, “Mereka tidak peduli dengan kesehatan tubuh, kuku tangan dan rambut mereka sangar kotor, begitu pula pakaiannya, dan jangan tanya soal baca tulis,” cerita Leorince. Bahkan waktu itu hukum rimba masih berlaku di sini, tak jarang aku menjumpai perilaku buruk mereka, lanjutnya.
Tahun pertama di Suku Kubu adalah masa yang sulit. Tidak mudah untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan orang tua maupun anak-anak mereka, kisahnya. Namun kerja keras dan pertolongan Tuhan akhirnya membuahkan hasil ketika satu demi satu anak datang ke dalam kelas.
Waktu berlalu dan perlahan-lahan mereka mulai paham banyak hal tentang ilmu pengetahuan, membaca, menulis, berhitung, cara hidup yang sehat, dll. Mereka sangat rajin datang ke sekolah, berjalan beriringan dan bangga dengan seragam sekolah yang dipakai, aku pun selalu terharu melihatnya, ucap Rince.
Meskipun demikian, lanjutnya, masalah nampaknya masih tetap ada, dan hal ini menyangkut masalah perut. Ruang kelas akan segera menjadi kosong tanpa seorang murid pun yang tinggal saat musim buah tiba. Mereka segera pergi untuk memanen buah-buahan hutan, dan itu bisa berminggu-minggu lamanya. “Tapi mereka akan kembali lagi ke sekolah saat musim panen usai,” kisah Leorince.
Namun waktu jualah yang menjawab semuanya, beberapa anak akhirnya berhasil menamatkan pendidikan SD mereka. “Mereka yang tamat diberikan surat rekomendasi untuk dapat melanjutkan ke SMP,” katanya. Sayangnya, hanya beberapa anak saja yang lanjut sekolah karena SMPnya berada di kota dan sangat jauh dari hutan tempat mereka tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar