Cikal bakal nama Provinsi Sumatera Barat
Cikal bakal nama Provinsi Sumatera Barat dimulai pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), digunakan untuk sebutan wilayah administratifnya yakni Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust. Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup kawasan pantai barat Sumatera mulai dari Barus sampai Inderapura.[7]
Seiring dengan kejatuhan Kerajaan Pagaruyung, dan keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan kawasan pedalaman Minangkabau sebagai bagian dari Pax Nederlandica, kawasan yang berada dalam pengawasan Belanda, dan wilayah Minangkabau ini dibagi atas Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden.[8]
Selanjutnya dalam perkembangan administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust termasuk wilayah Residentie Bengkulu yang baru diserahkan Inggris kepada Belanda. Kemudian diperluas lagi dengan memasukan Tapanuli, dan Singkil. Namun pada tahun 1905, wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli, sedangkan wilayah Singkil diberikan kepada Residentie Atjeh. Kemudian pada tahun 1914, Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's Westkust, dan menambahkan wilayah Kepulauan Mentawai di Samudera Hindia ke dalam Residentie Sumatra's Westkust, serta pada tahun 1935 wilayah Kerinci juga digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust. Sementara wilayah Rokan Hulu dan Kuantan Singingi diberikan kepada Residentie Riouw pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust, serta juga membentuk Residentie Djambi pada periode yang hampir bersamaan.[7]
Pada masa pendudukan tentara Jepang, Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar/ Bangkinang dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.[7]
Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Pada tahun 1949, Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatera Tengah. Pada masa PRRI di Sumatera, Pemerintah Pusat berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah lagi menjadi 3 provinsi yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau. Selanjutnya ibu kota provinsi Sumatera Barat yang baru ini adalah masih tetap di Kota Bukittinggi. Namun berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958 secara de facto menetapkan Kota Padang menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Barat
Riwayat Datangnya Suku Chaniago dari Minang ke Nias
Seorang bangsawan Minang asal Pariangan Padang Panjang bernama Nyik Puncak Alam dari suku Chaniago bergelar Datuk Raja Ahmad yang disertai penghulunya Ahmad Sirinto dan Si Kumango berlayar menuju Aceh Barat dengan sebuah kapal layar (picalang) yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap termasuk beberapa pucuk meriam. Misi pelayaran ini adalah untuk berdagang. Dalam penuturan lain disebutkan bahwa misinya untuk mencari Mamaknya (saudara laiki-laki Ibu) yang telah lama berlayar ke Negeri Aceh, bernama Tuanku Kariem.
Saat itu pantai barat Sumatera sangat tidak aman, akibat merajalelalanya perampok dan bajak laut. Masalah keamanan ini tidak bisa ditangani dengan baik oleh Kesultanan Aceh yang mulai melemah sepeninggal Sultan Iskandar Muda.
Menurut catatan para pemuka-pemuka adat Ilir Gunungsitoli, yang dikutip dari tambo lama, disebutkan bahwa kapal layar Datuk Raja Ahmad tiba di Teluk Belukar/ Talu Baliku (Sekarang bernama Muara Indah), yang berlokasi di Desa Afia Kec. Tuhemberua) pada 1111 H. atau sekitar tahun 1690 M. Dalam tulisan lain menyebutkan pada 11 Safar 1111 H.
Kedatangannya ini sendiri awalnya hanya sekedar berlindung dari amukan badai. Namun belakangan Datuk Raja Ahmad bersedia tinggal di Pulau Nias atas permintaan dari raja-raja di Nias yang berdua di Negeri Laraga Talu Idanoi yaitu Balugu Aforo Laowofa untuk membantu mengatasi serangan bajak laut yang semakin mengganas di wilayah pesisir pantai Pulau Nias.
Kesediaan Datuk Raja Ahmad ini didahului dengan adanya kesepakatan dengan raja-raja Nias. Adapun isi kesepakatan antara Datuk Raja Ahmad dan raja-raja Nias, seperti dikutip dari “Sejarah Koto – Benteng Kuno” tulisan AR. Sutan Ibrahim dan Sutan Amin Alam, halaman 6 paragraf 5, adalah sebagai berikut:
Seketika itu maka bertanyalah Datuk Raja Ahmad: “Kalau hamba berdiam disini, apakah pemberian Raja-raja kepada hamba?
Maka menjawab Raja-raja Nias yang berdua: “Bertigalah kita memerintah tanaha ini, sebelah pesisir tepi laut Datuk yang menguasai dan memerintah sampai di kaki gunung yakni dimana-mana sampai pemerintah ta’luk kami, pulang kepada datuk semuanya.
Lalu bersumpah setialah Raja-raja Nias dengan Datuk Raja Ahmad nan tidak cido mencidokan (Pen: Saling mencelakakan/ berkhianat), jika hilang di darat Raja-raja Nias yang mencari, jika hilang di laut Datuk Raja Ahmad yang mencari. Maka dalam pada itu terdengarlah pula kepada Raja kepala suku Telaumbanua Raja Awuwuoha, turut menjadi sepakat seia bersama-sama tolong menolong.
Selanjutnya seperti disebutkan dalam “Riwayat Kedatangan Suku Aceh di Pulau Nias”, Datuk Raja Ahmad tinggal di Pulau Nias dan bertemu dengan Teuku Polem dan kemudian menikah dengan putrinya yaitu Siti Zohora. Perkawinan Datuk Raja Ahmad dan Siti Zohora ini dikaruniai tiga orang putra yaitu:
1. Datuk Raja Jamat
2. Raja Mangkuto
3. Datuk Raja Malimpah
Setelah melahirkan anak pertama, Siti Zohora meminta suaminya Datuk Raja Ahmad untuk menjemput kakaknya Si Meugang ke Meulaboh. Oleh Datuk Raja Ahmad permintaan ini dipenuhi dengan mengutus penghulunya Ahmad Sirinto. Teuku Simeugang dan Si Acah akhirnya pulang kembali ke Nias dengan membawa beberapa tanda mata peninggalan kakeknya Teuku Cik berupa persenjataan dan meriam, Badi Suasa, Cerana Perak dan barang-barang berharga lainnya.
NDRAWA SOWANUA
Wilayah tempat tinggal Datuk Raja Ahmad ini kemudian berkembang menjadi sebuah “koto” (Koto dalam bahasa Minang berarti Kota). Koto ini juga sekaligus menjadi benteng pertahanan dari gangguan kemanan dan musuh dan dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam. Meriam-meriam peninggalan tersebut hingga kini masih dapat ditemui, yaitu di Kelurahan Ilir Gunungsitoli, tepatnya di persimpangan jalan Diponegoro.
Seiring dengan semakin berkembangnya penduduk dan wilayah, koto ini dinamakan Arö koto atau Kampung Dalam. Wilayah tersebut terletak di perbatasan antara desa Mudik dan Kelurahan Ilir, tepat disisi Kali Nou. Ada juga yang menyebutkan bahwa penamaan Arö Koto ini sesuai dengan nama kampung asal Datuk Raja Ahmad di Pariangan yaitu Kampung Dalam, Pariangan Padang Panjang di Sumatera Barat.
Pemilikan wilayah dan daerah kekuasaan pesisir pantai oleh Ndrawa ini telah disahkan secara adat oleh lembaga adat yang diselenggarakan oleh pemimpin para Ndrawa dengan raja-raja Nias yang disebut FONDRAKÖ.
FONDRAKÖ pertama diselenggarakan di Mbuniö dan Heleduna (berlokasi di kaki bukit Lasara). Sehingga sejak saat itu kedudukan para Ndrawa sama dengan penduduk asli Nias dan mereka disebut sebagai NDRAWA SOWANUA, yang artinya pendatang yang mempunyai negeri atau kampung.
Sehingga tidak mengherankan jika hingga sekarang, umumnya para kota atau kampung di sepanjang daerah pesisir pantai Nias adalah merupakan pemukiman dari keturunan Aceh dan Minang.
Sumber tulisan:
Sedjarah Ringkas Kampung Ilir dan Jang Berhubung dengan Itu, oleh Tadjudin Alam (Mantan Kepala Kampung Ilir), 29 Februari 1952.
Sejarah Koto Benteng Kuno, oleh AR. Sutan Ibrahim dan Sutan Amin Alam, 28 Mei 1938.
Saat itu pantai barat Sumatera sangat tidak aman, akibat merajalelalanya perampok dan bajak laut. Masalah keamanan ini tidak bisa ditangani dengan baik oleh Kesultanan Aceh yang mulai melemah sepeninggal Sultan Iskandar Muda.
Menurut catatan para pemuka-pemuka adat Ilir Gunungsitoli, yang dikutip dari tambo lama, disebutkan bahwa kapal layar Datuk Raja Ahmad tiba di Teluk Belukar/ Talu Baliku (Sekarang bernama Muara Indah), yang berlokasi di Desa Afia Kec. Tuhemberua) pada 1111 H. atau sekitar tahun 1690 M. Dalam tulisan lain menyebutkan pada 11 Safar 1111 H.
Kedatangannya ini sendiri awalnya hanya sekedar berlindung dari amukan badai. Namun belakangan Datuk Raja Ahmad bersedia tinggal di Pulau Nias atas permintaan dari raja-raja di Nias yang berdua di Negeri Laraga Talu Idanoi yaitu Balugu Aforo Laowofa untuk membantu mengatasi serangan bajak laut yang semakin mengganas di wilayah pesisir pantai Pulau Nias.
Kesediaan Datuk Raja Ahmad ini didahului dengan adanya kesepakatan dengan raja-raja Nias. Adapun isi kesepakatan antara Datuk Raja Ahmad dan raja-raja Nias, seperti dikutip dari “Sejarah Koto – Benteng Kuno” tulisan AR. Sutan Ibrahim dan Sutan Amin Alam, halaman 6 paragraf 5, adalah sebagai berikut:
Seketika itu maka bertanyalah Datuk Raja Ahmad: “Kalau hamba berdiam disini, apakah pemberian Raja-raja kepada hamba?
Maka menjawab Raja-raja Nias yang berdua: “Bertigalah kita memerintah tanaha ini, sebelah pesisir tepi laut Datuk yang menguasai dan memerintah sampai di kaki gunung yakni dimana-mana sampai pemerintah ta’luk kami, pulang kepada datuk semuanya.
Lalu bersumpah setialah Raja-raja Nias dengan Datuk Raja Ahmad nan tidak cido mencidokan (Pen: Saling mencelakakan/ berkhianat), jika hilang di darat Raja-raja Nias yang mencari, jika hilang di laut Datuk Raja Ahmad yang mencari. Maka dalam pada itu terdengarlah pula kepada Raja kepala suku Telaumbanua Raja Awuwuoha, turut menjadi sepakat seia bersama-sama tolong menolong.
Selanjutnya seperti disebutkan dalam “Riwayat Kedatangan Suku Aceh di Pulau Nias”, Datuk Raja Ahmad tinggal di Pulau Nias dan bertemu dengan Teuku Polem dan kemudian menikah dengan putrinya yaitu Siti Zohora. Perkawinan Datuk Raja Ahmad dan Siti Zohora ini dikaruniai tiga orang putra yaitu:
1. Datuk Raja Jamat
2. Raja Mangkuto
3. Datuk Raja Malimpah
Setelah melahirkan anak pertama, Siti Zohora meminta suaminya Datuk Raja Ahmad untuk menjemput kakaknya Si Meugang ke Meulaboh. Oleh Datuk Raja Ahmad permintaan ini dipenuhi dengan mengutus penghulunya Ahmad Sirinto. Teuku Simeugang dan Si Acah akhirnya pulang kembali ke Nias dengan membawa beberapa tanda mata peninggalan kakeknya Teuku Cik berupa persenjataan dan meriam, Badi Suasa, Cerana Perak dan barang-barang berharga lainnya.
NDRAWA SOWANUA
Wilayah tempat tinggal Datuk Raja Ahmad ini kemudian berkembang menjadi sebuah “koto” (Koto dalam bahasa Minang berarti Kota). Koto ini juga sekaligus menjadi benteng pertahanan dari gangguan kemanan dan musuh dan dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam. Meriam-meriam peninggalan tersebut hingga kini masih dapat ditemui, yaitu di Kelurahan Ilir Gunungsitoli, tepatnya di persimpangan jalan Diponegoro.
Seiring dengan semakin berkembangnya penduduk dan wilayah, koto ini dinamakan Arö koto atau Kampung Dalam. Wilayah tersebut terletak di perbatasan antara desa Mudik dan Kelurahan Ilir, tepat disisi Kali Nou. Ada juga yang menyebutkan bahwa penamaan Arö Koto ini sesuai dengan nama kampung asal Datuk Raja Ahmad di Pariangan yaitu Kampung Dalam, Pariangan Padang Panjang di Sumatera Barat.
Pemilikan wilayah dan daerah kekuasaan pesisir pantai oleh Ndrawa ini telah disahkan secara adat oleh lembaga adat yang diselenggarakan oleh pemimpin para Ndrawa dengan raja-raja Nias yang disebut FONDRAKÖ.
FONDRAKÖ pertama diselenggarakan di Mbuniö dan Heleduna (berlokasi di kaki bukit Lasara). Sehingga sejak saat itu kedudukan para Ndrawa sama dengan penduduk asli Nias dan mereka disebut sebagai NDRAWA SOWANUA, yang artinya pendatang yang mempunyai negeri atau kampung.
Sehingga tidak mengherankan jika hingga sekarang, umumnya para kota atau kampung di sepanjang daerah pesisir pantai Nias adalah merupakan pemukiman dari keturunan Aceh dan Minang.
Sumber tulisan:
Sedjarah Ringkas Kampung Ilir dan Jang Berhubung dengan Itu, oleh Tadjudin Alam (Mantan Kepala Kampung Ilir), 29 Februari 1952.
Sejarah Koto Benteng Kuno, oleh AR. Sutan Ibrahim dan Sutan Amin Alam, 28 Mei 1938.
semua teman kita: Bob Marley
semua teman kita: Bob Marley: Kapten Norval Sinclair Marley adalah seseorang yang berperawakan kecil. Ia adalah seorang pengawas tanah perusahaan Crown Lands, milik Pe...
Langganan:
Postingan (Atom)